Aspek Hukum dalam Pembangunan (Tugas 4)


MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN



Disusun Oleh:

1.        Akmal Zahid                              (10315437)
2.        Aulia Fatimah                            (11315146)
3.        Denys Pramusinta                     (11315700)
4.        Elisabeth Theopany C.             (2315175)
5.        Jordan                                        (17315476)
6.        Pandega                                     (5315299)
7.        Putri Eka Dayana                     (15315444)
8.        Salsabillah Firdausiyyah          (16315352)

Kelompok / Semester           :  II / VII
Dosen                                    :  Efa Wahyuni, SE.
Kelas                                      : 4TA01

JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK  SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018



1                         ASPEK PERSERORAN, PERBANKAN, PERASURANSIAN DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI
1.1                   Persero
1.1.1      Definisi Persero
Perseroan terbatas (PT) (bahasa Belanda: Naamloze Vennootschap) adalah suatu badan hukum untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari saham-saham, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya. Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan bisa dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.
Perseroan terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan tercantum dalam anggaran dasar. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham yang menjadi bukti pemilikan perusahaan. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut dividen yang besarnya tergantung pada besar-kecilnya keuntungan yang diperoleh perseroan terbatas.
Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut.

1.1.2             Mekanisme Pendirian Persero
Untuk mendirikan PT, harus dengan menggunakan akta resmi (akta yang dibuat oleh notaris) yang di dalamnya dicantumkan nama lain dari perseroan terbatas, modal, bidang usaha, alamat perusahaan, dan lain-lain. Akta ini harus disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (dahulu Menteri Kehakiman). Untuk mendapat izin dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.        Perseroan terbatas tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
2.        Akta pendirian memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-Undang.
3.        Paling sedikit modal yang ditempatkan dan disetor adalah 25% dari modal dasar. (sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1995 & UU No. 40 Tahun 2007, keduanya tentang perseroan terbatas).
Setelah mendapat pengesahan, dahulu sebelum adanya UU mengenai Perseroan Terbatas (UU No. 1 tahun 1995) Perseroan Terbatas harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat, tetapi setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1995 tersebut, maka akta pendirian tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Perusahaan (sesuai UU Wajib Daftar Perusahaan tahun 1982) (dengan kata lain tidak perlu lagi didaftarkan ke Pengadilan negeri, dan perkembangan tetapi selanjutnya sesuai UU No. 40 tahun 2007, kewajiban pendaftaran di Kantor Pendaftaran Perusahaan tersebut ditiadakan juga. Sedangkan tahapan pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) tetap berlaku, hanya yang pada saat UU No. 1 tahun 1995 berlaku pengumuman tersebut merupakan kewajiban Direksi PT yang bersangkutan tetapi sesuai dengan UU No. 40 tahun 2007 diubah menjadi merupakan kewenangan/kewajiban Menteri Hukum dan HAM.
Setelah tahap tersebut dilalui maka perseroan telah sah sebagai badan hukum dan perseroan terbatas menjadi dirinya sendiri serta dapat melakukan perjanjian-perjanjian dan kekayaanperseroan terpisah dari kekayaan pemiliknya.
Modal dasar perseroan adalah jumlah modal yang dicantumkan dalam akta pendirian sampai jumlah maksimal bila seluruh saham dikeluarkan. Selain modal dasar, dalam perseroan terbatas juga terdapat modal yang ditempatkan, modal yang disetorkan dan modal bayar. Modal yang ditempatkan merupakan jumlah yang disanggupi untuk dimasukkan, yang pada waktu pendiriannya merupakan jumlah yang disertakan oleh para persero pendiri. Modal yang disetor merupakan modal yang dimasukkan dalam perusahaan. Modal bayar merupakan modal yang diwujudkan dalam jumlah uang.

1.1.3             Prosedur Pendirian Persero
Bilamana seseorang akan mendirikan perseroan terbatas, maka para pendiri, yang biasanya terdiri dari 2 orang atau lebih, melakukan perbuatan hukum sebagai yang tersebut di bawah ini:
1.        Para pendiri datang di kantor notaris untuk diminta dibuatkan akta pendirian Perseroan Terbatas. Yang disebut akta pendirian itu termasuk di dalamnya anggaran dasar dari Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Anggaran dasar ini sendiri dibuat oleh para pendiri, sebagai hasil musyawarah mereka. Kalau para pendiri merasa tidak sanggup untuk membuat anggaran dasar tersebut, maka hal itu dapat diserahkan pelaksanaannya kepada notaris yang bersangkutan.
2.        Setelah pembuatan akta pendirian itu selesai, maka notaris mengirimkan akta tersebut kepada Kepala Direktorat Perdata, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Akta pendirian tersebut juga dapat dibawa sendiri oleh para pendiri untuk minta pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, tetapi dalam hal ini Kepala Direktorat Perdata tersebut harus ada surat pengantar dari notaris yang bersangkutan. Kalau penelitian akta pendirian Perseroan Terbatas itu tidak mengalami kesulitan, maka Kepala Direktorat Perdata atas nama Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Kalau ada hal-hal yang harus diubah, maka perubahan itu harus ditetapkan lagi dengan akta notaris sebagai tambahan akta notaris yang dahulu. Tambahan akta notaris ini harus mnedapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu ditetapkan surat keputusan terakhir dari Kementerian Hukum dan HAM tentang akta pendirian Perseroan Terbatas yang bersangkutan.
3.        Para pendiri atau salah seorang atau kuasanya, membawa akta pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM beserta surat keputusan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM tersebut ke kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mewilayahi domisili Perseroan Terbatas untuk didaftarkan. Panitera yang berwenang mengenai hal ini mengeluarkan surat pemberitahuan kepada notaris yang bersangkutan bahwa akta pendirian PT sudah didaftar pada buku register PT.
4.        Para pendiri membawa akta pendirian PT beserta surat keputusan tentang pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, serta pula surat dari Panitera Pengadilan negeri tentang telah didaftarnya akta pendirian PT tersebut ke kantor Percetakan Negara, yang menerbitkan Tambahan Berita Negara RI. Sesudah akta pendirian PT tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI,maka PT yang bersangkutan sudah sah menjadi badan hukum.

1.2                   Perbankan
1.2.1             Definisi Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.






1.2.2        Fungsi Perbankan
Menurut Budisantoso (2006:9) secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services.
1.        Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana maupun penyaluran dana. Masyarakat mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut , dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.
2.        Agent of Development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
3.        Agent of Service
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian secara luas. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.

1.3                   Perasuransian dan Perpajakan
1.3.1             Definisi
Asuransi atau pertanggungan adalah Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
1.3.2             Jenis Usaha Asuransi
1.        Asuransi Kerugian
Memberiken jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
2.        Asuransi Jiwa
Digunakan untuk memindahkan resiko, dimana apabila terjadi resiko kematian pada seseorang maka ahli warisnya akan memperoleh sejumlah dana yang disebut Uang Pertanggungan. Dalam industri asuransi jiwa di Indonesia saat ini, dikenal jenis asuransi tradisional misalnya term life (asuransi jiwa berjangka);whole life (asuransi jiwa seumur hidup), endowment (asuransi jiwa tradisional dengan kombinasi tabungan), serta polis asuransi jiwa unit linked atau investment linked. Asuransi jenis unit linked ini sangat populer dan hampir semua perusahaan asuransi besar memiliki produk ini bahkan beberapa perusahaan asuransi asing yang ada di Indonesia hanya menjual jenis unit linked tanpa menjual produk asuransi tradisionil lainnya. Asuransi jiwa unit linked selain memberikan manfaat proteksi asuransi jiwa, juga sekaligus memberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung dalam investasi khususnya dalam reksadana.
3.        Reasuransi
Memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.

1.3.3             Aspek perpajakan Asuransi
Secara umum, penghitungan dan perlakuan perpajakanbagi asuransi sama dengan perusahaan lainnya.Yang menjadi dasar adalah Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari pendapatan setelah dikurangi biaya yang telah diperbolehkan. Namun karena karakteristik asuransi yang berbeda dari bisnis lain, ada perlakuan pajak khusus untuk beberapa hal sbb:
Pendapatan
Pendapatan perusahaan asuransi berasal dari premi asuransi ( termasuk premi asuransi bagi perusahan reasuransi ) yang diterima dari nasabah/ kliennya. Untuk premi asuransi yang dibayar sekaligus oleh pemegang polis berkenaandengan periode pertanggungan yang lebih dari 1 tahun pengakuan penghasilannya dikaitkan dengan metode pembukuan yang dianut wajib pajak :
1.        Apabila metode pembukuan yang digunakan wajib pajak adalah stelsel akrual, makapengakuan penghasilan atas premi asuransi tersebit dialokasikan secara proporsional ke tahun-tahun yang meliputi periode pertanggungan tersebut
2.        Apabila metode pembukuan yang digunakan wajib pajak adalah stelsel kas/stelsel campuran maka pengakuan penghasilannya adalah :
a.       Dalam hal premi asuransi tersebut diterima dimuka, maka diakui pada saat premi tersebut diterima.
b.      Dalam hal premi asuransi diterima  setelah masa pertanggungan maka premi tersebut dialokasikan selama masa pertanggungan.
1.3.4             Cadangan yang dapat dibiayakan
Penghitungan cadangan dibedakan sbb :
1.        Asuransi Kerugian Cadangan premi tanggungan sendiri
a.         Besarnya cadangan premi tanggungan adalah 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.
b.         Cadangan premi tanggungan sendiri ini merupakan premi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan pada tahun pajak yang bersngkutan.
c.         Cadangan premi tanggungan ini merupakan Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.
Klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian :
a.         Besarnya cadangan klaim tanggungan sendiri adalah 100% dari jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah
b.         Dilaporkan dan sedang dalam proses, tetapi tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan
c.         Cadangan klaim tanggungan sendiri tersebut dibentuk pada akhir tahun Pajak
d.         Jumlah klaim yang sebenarnya dibayar oleh perusahaan asuransi kerugian dibebankan kepada perkiraan cadangan klaim tanggungan sendiri

2.      Cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa :
a.       Besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
b.      Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi merupakan biayadalam tahun yang bersangkutan.
c.       Apabila terjadi pembayaran klaim kepada tertanggung jumlah tersebut dibebankan kepada perkiraan cadangan premi.

1.3.5             PPN
Sesuai UU 42 tahun 2009 (UU PPN) jasa asuransi termasuk dalam jasa tidak kena pajak (non JKP). Yang dimaksud dengan jasa asuransi yang non JKP adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi dan konsultan asuransi. Dengan demikian perusahaan asuransi tidak wajib dikukuhkan sebgai PKP. Sementara jasa penunjang asuransi wajib dikukuhkan sebagai PKP kecuali yang memenuhi kriteria perusahaan kecil.


2                         ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
2.1                   Pengertian
Agraria merupakan hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria sering pula disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal, agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena terkait dengan pengolahan lahan.
Agraria bukanlah cabang ilmu, melainkan sekumpulan perangkat yang mengatur aspek hukum terkait dengan lahan. Geodesi merupakan alat dasar bagi agraria untuk menentukan ukuran lahan, sedangkan ilmu administrasi dan peraturan hukum merupakan alat pokok dalam keagrariaan.
Undang-Undang Pokok Agraria (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) adalah undang-undang yang mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia. Hal itu mencakup dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok, hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah, ketentuan-ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
2.2                   Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional
Menurut  Notonagoro, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan Hukum Agraria nasional, adalah faktor formal, faktor material, faktor ideal, faktor agraria moderen, dan faktor ideologi politik. Faktor-faktor tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.             Faktor Formal
Keadaan Hukum Agraria di Indonesia sebelum diundangkannya UUPA merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peraturan-peraturan tentang sekarang berlaku berdasarkan  pada peraturan-peraturan peralihan yang terdapat dalam pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, yang semuanya itu bersama-sama menentukan dalam garis besarnya bahwa peraturan-peraturan hukum yang berlaku pada Zaman Hindia Belanda memegang kekuasaan, masih berlaku untuk sementara.
2.             Faktor Material
Hukum Agraria mempunyai sifat dualisme hukum. Dualisme hukum ini dapat meliputi hukum, seubjek maupun objeknya. Menurut hukumnya, yaitu disatu pihak berlaku Hukum Agaria Barat yang diatur dalam KUH Perdata maupun Agrarische Wet, dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat yang diatur dalm Hukum Adat tentang tanah masing-masing. Menurut subjeknya, Hukum Agraria Barat berlaku bagi orang-orang yang tunduk terhadap Hukum Barat, di pihak lain Hukum Agraria Adat berlaku bagi orang-orang yang tunduk terhadap Hukum Adat.
Menurut objeknya, di satu pihak ada hak-hak atas tanah yang diperuntuhkan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Barat, di pihak lain ada hak-hak atas tanah yang diperuntuhkan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat. Adanya sifat dualisme hukum ini membawa konsekuensi baik dari sistem hukum maupun dari segi hak dan kewajiban bagi subjek hukumnya. Sifat dualisme hukum ini menimbulkan persoalan dan kesulitan yang tidak dapat dibiarkan terus-menerus.
Setelah Indonesia merdeka, maka sifat dialisme hukum ini harus diganti dengan sifat unifikasi (kesatuan) hukm. Sudah tentu Hukum Agraria kolonial tidak sesuai dengan isi Hukum Agraria yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia, yaitu Hukum Agraria yang berlaku secara Nasional (unifikasi hukum). Oleh karena itu, hal inilah yang mendorong bahwa Hukum Agraria Kolonial yang mempunyai sifat dualisme hukum diganti dengan sifat inifikasi hukum yang berlaku secara nasional.
3.             Faktor Ideal
Dari faktor ideal (tujuan negara), sudah tentu tujuan Hukum Agraria Kolonial tidak cocok dengan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan tujuan penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, seperti yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Hukum Agraria Kolonial dibuat dengan tujuan untuk kepentingan, keuntungan, kesejahteraan, dan kemakmuran Pemerintah Hindia-Belanda, orang-orang dari golongan Belanda, Eropa, Timur Asing, Sedangkan Hukum Agraria Nasional dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketidaksesuaian tujuan dibuatnya Hukum Agraria Kolonial inilah yang mendorong bahwa Hukum Agraria Kolonial harus diganti dengan Hukum agraria Nasional, yang diarahkan kepada terwujudnya fungsi bumi, air, dan kekayaan a;am yang terkandung didalmnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat indonesia.
4.             Faktor Agraria Modern
Faktor-faktor Agaria modern terletak dalam lapangan-lapangan sebagai berikut:
a.         Lapangan sosial.
Masalahnya adalah bagaimana hubungan antara pemilik tanah dan bukan pemilik tanah itu harus diatur untuk kesejahteraan rakyat.
b.        Lapangan ekonomi.
Masalahnya adalah bagaimana penggunaan tanah itu harus diatur agar dapat memberikan hasil produksi yang optimal atau mencapai titik optimum.
c.         Lapangan etika.
Masalahnya adalah bagaimana penggunaan tanah itu harus di atur agar selain bisa memberikan kesejahteraan pada pemiliknya, juga memberikan kesejahteraan pada pemiliknya, juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa.
d.        Lapangan idiil fundamental.
Masalahnya adalah apakah warga negara Indonesia boleh mempunyai Hak Milik atas tanah tanpa batas luas jumlahnya di Indonesia.
e.         Faktor Ideologi Politik
Indonesia sebagai bangsa dan negara mempunyai keterkaitan hidup dengan negara-negara lain. Indonesia tidak dapat mempunyai kedudukan tersendiri terlepas dari keadaan dan hubungan dengan negara-negara lain. Dalam menyusun Hukum Agraria nasional boleh mengadopsi Hukum Agraria negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dijadikan faktor dasar dalam pembangunan Hukum Agraria nasional.


3            ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIZINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
3.1         Konsep Dasar Penataan Ruang, Aspek Hukum Penataan Ruang, dan Wewenang Pengelola dalam Perencanaan Kota
Rencana tata ruang merupakan rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan program-program pembangunan dalam jangka panjang (Nurmandi, 1999). Oleh karena itu, rencana tata ruang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana program pembangunan yang merupakan rencana jangka menengah dan jangka pendek.Kegiatan penataan ruang berkaitan juga dengan perencanaan pembangunan sehingga dokumen yang dihasilkan dari kegiatan penataan ruang dan perencanaan pembangunan sama-sama ditujukan untuk memprediksi kegiatan yang akan dilakukan di masa mendatang. Selain itu, rencana tata ruang sebagai hasil dari kegiatan perencanaan tata ruang merupakan bagian dari proses perencanaan pembangunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pemanfaatan ruang merupakan serangkaian program pelaksanaan beserta pembiayaannya selama jangka waktu perencanaan. Kegiatan pemanfaatan ruang antara lain berupa penyuluhan dan pemasyarakatan rencana, penyusunan program, penyusunan peraturan pelaksanaan dan perangkat insentif dan disinsentif, penyusunan dan pengusulan proyek dan pelaksanaan program dan proyek (Oetomo, 1998). Rencana tata ruang harus dapat dioperasionalisasikan sehingga dapat menjadi strategi dan kebijaksanaan daerah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Disamping itu, rencana tata ruang harus berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program/proyek yang akan dilaksanakan di daerah yang berasal dari berbagai sumber dana, sebagai wujud dari pemanfaatan rencana tata ruang di daerah.
              Kedudukan rencana tata ruang wilayah dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar Kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah Berikut:

Perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses pembangunan melalui 3 alat utama yaitu (Cadman dan Crowe, 1991):
1.        Rencana pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan stategis dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan perubahan lingkungan.
2.        Kontrol pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang (developers) dan investor.
3.        Promosi pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan, maka dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.
Pertumbuhan ekonomi menyebabkan kebutuhan untuk mengembangkan lahan secara intensif. Selain itu, kegiatan implementasi rencana tata ruang melalui promosi pembangunan perlu dilakukan dalam rangka mencegah pembangunan yang tidak diinginkan dan mendorong terjadinya pembangunan (Cadman dan Crowe, 1991). Hal ini diikuti dengan ketertarikan para developer (termasuk pemerintah), untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan, penyiapan proposal rencana, kemungkinan perubahan pada lahan milik, penyediaan dana, persiapan fisik dan konstruksi kerja.
Dalam membahas rencana spasial dan rencana pembangunan daerah secara sekaligus, maka akan tidak terlepas juga dari aspek keuangan. Saat ini, tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana memanfaatkan rencana tata ruang sebagai media manajemen pembangunan daerah. Dalam hal ini, rencana tata ruang dihadapkan tidak hanya pada masalah bagaimana mengimplementasikannya dalam konteks pembangunan, tetapi juga rencana tersebut dapat digunakan sebagai suatu alat yang dapat memperkirakan besarnya investasi yang diperlukan dan berapa pendapatan (revenue) yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu, pembangunan akan memerlukan peran berbagai aktor tersebut agar ruang dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan rencana tata ruang dalam rangka peningkatan pendapatan daerah dan tercapainya tujuan pembangunan.
Suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak seluruh pemanfaatnya, serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya. Dilengkapi dengan kesadaran pertimbangan pembiayaan dan waktu, maka dengan kata lain suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu wawasan yang lengkap dan terpadu serta operasional, yang tentu saja tingkat operasionalnya disesuaikan dengan tingkat hirarki dan fungsi dari rencana tata ruang tersebut.
1.        Rencana tata ruang dapat menjadi dasar dalam:
2.        Penyusunan Propeda
3.        Penentuan lokasi pembangunan tiap sektor
4.        Penyusunan anggaran daerah dan sektor
5.        Pengaturan dan pengendalian pembangunan melalui mekanisme perijinan dan penertiban penggunaan lahan.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa rencana tata ruang tidak hanya digunakan dalam mekanisme penerbitan ijin saja, tetapi juga sebagai dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan jangka pendek serta penyusunan anggaran daerah. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa setiap kegiatan, baik fisik maupun non-fisik, pasti akan memerlukan ruang agar kegiatan tersebut berlangsung. Selain itu, seperti dikemukakan oleh Foley (1967) bahwa tata ruang tidak hanya merupakan konsepsi keruangan (spasial), tetapi juga terdapat wawasan bukan keruangan (a-spasial) karena kegiatan yang menyangkut spasial tidak terlepas dari kondisi a-spasial yang terjadi.
Usman dalam Munir (2002) memandang perlu bahwa dimensi spasial dalam pembangunan daerah dapat menjadikan pembangunan daerah mempunyai watak atau ciri tersendiri, serta memiliki pola dan spirit sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Dalam upaya peningkatan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah serta mendorong pembangunan berkelanjutan, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan, antara lain:
1.        Penyusunan rencana tata ruang harus bersifat partisipatif dan dinamis dalam rangka menghadapi tuntutan globalisasi dan kebutuhan ruang masyarakat serta sesuai dengan kondisi, karakteristik dan daya dukung daerah.
2.        Melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang demi tercapainya penataan ruang yang berbasis peran serta masyarakat.
3.        Menggunakan rencana tata ruang yang ditetapkan sebagai pedoman penyusunan program-program pembangunan dan penerbitan perijinan pemanfaatan ruang serta alat kendali dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang agar tujuan dari rencana tata ruang tercapai.
4.        Melaksanakan pembangunan daerah melalui pendekatan pengembangan wilayah bukan pendekatan sektor dimana program/proyek dari sektor/bidang serta alokasi pendanaannya diarahkan untuk pengembangan wilayah/kawasan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
5.        Meningkatkan sosialisasi serta menyebarluaskan seluruh informasi rencana tata ruang dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang, agar masyarakat (stakeholder) dapat mengetahuinya secara jelas dan pasti tentang kebijaksanaan rencana tata ruang yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
6.        Menegakkan peraturan dan penerapan sanksi bagi pelanggar tata ruang ditinjau dari jenis pelanggarannya.
7.        Menciptakan dan meningkatkan hubungan kerja sama antar daerah dalam pola pemanfaatan ruang, agar tercipta keserasian, keseimbangan dan keselarasan tata ruang.
8.        Menyiapkan kebijaksanaan tentang insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang, agar fungsi/peruntukan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dapat terwujud.
Pembangunan dengan pendekatan kewilayahan yang merupakan pembangunan terpadu menurut Budiharsono (2001) diharapkan dapat mengurangi kesalahan-kesalahan pembangunan di masa lalu. Dengan pendekatan wilayah, akan dapat tercipta suatu sistem pembangunan yang bersifat terpadu dengan mendorong terciptanya berbagai bentuk spatial linkages, seperti jaringan interaksi fisik, sosial, ekonomi, teknologi dan administrasi.
Penyusunan dan pengusulan program dan proyek yang sesuai dengan rencana tata ruang bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan antara program pembangunan dengan rencana tata ruang yang ada sehingga rencana tata ruang tidak hanya dilihat sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan daerah tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan. Oleh karena itu, rencana tata ruang merupakan salah satu kebijaksanaan yang strategis di daerah.
Rencana tata ruang wilayah kota menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan.Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kota  adalah 20 (dua puluh) tahun. Rencana tata ruang wilayah  kota sebagaimana dimaksud ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.  kota Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kota ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Rencana tata ruang wilayah  kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
1.        Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota mengacu pada:
a.         Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi
b.         Pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
c.         Rencana pembangunan jangka panjang daerah.
2.        Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota harus memperhatikan:
a.         Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota;
b.         Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi  kota ;
c.         Keselarasan aspirasi pembangunan  kota ;
d.         Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e.         Rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f.          Rencana tata ruang wilayah  kota yang berbatasan; dan
g.         Rencana tata ruang kawasan strategis kota.




3.        Rencana tata ruang wilayah kota memuat:
a.         Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah  kota ;
b.         Rencana struktur ruang wilayah  kota yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kota ;
c.         Rencana pola ruang wilayah  kota yang meliputi kawasan lindung  kota dan kawasan budi daya  kota;
d.         Penetapan kawasan strategis  kota;
e.         Arahan pemanfaatan ruang wilayah  kota yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
f.          Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah  kota yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
4.        Rencana tata ruang wilayah  kota menjadi pedoman untuk:
a.         Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b.         Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c.         Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota;
d.         Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;
e.         Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f.          Penataan ruang kawasan strategis  kota.
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.
1.        Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud  berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ditambahkan:
a.         Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b.         Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c.         Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
3.2                   Perizinan Pembangunan Proyek
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 8 Januari 2016 tidak hanya menyoal ketentuan batasan dan perizinan. Perpres itu juga membahas ketentuan perihal tata ruang, penyediaan tanah, jaminan, dan pengadaan barang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dalam pasal 19 ayat (1) Perpres itu dilakukan dengan memerhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD), atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sementara pasal 19 ayat (2) mengatur ketentuan apabila Proyek Strategis Nasional berbenturan dengan rencana-rencana di atas. "Dalam hal lokasi Proyek Strategis Nasional tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari lokasi yang direncanakan, dapat dilakukan penyesuaian tata ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang," bunyi Pasal 19 ayat (2) Perpres tersebut.
Sebenarnya ada berapa perizinan yang nyangkut dengan target yang kita kehendaki. Ada pun delapan izin itu sebagai berikut:
1.        Izin lingkungan setempat Izin ini terkait juga dengan UU Gangguan yang dikeluarkan oleh pemda setempat.
2.        Keterangan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Keterangan ini dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda).
3.        Izin pemanfaatan lahan atau izin pengeringan lahan Izin ini terutama diberlakukan jika ada pengembang yang memakai lahan sawah untuk dikonversi menjadi perumahan.
4.        Izin prinsip Izin ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat.
5.        Izin lokasi Izin ini diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional.
6.        Izin dari Badan Lingkungan Hidup atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Izin dari BLH merupakan pengganti Amdal. Jika lokasi yang digunakan cakupannya kecil, cukup mengurus izin Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL-UKL).
7.        Izin dampak lalu lintas Izin ini dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan. Jika perumahan mau dihubungkan dengan jalan arteri, pengembang harus memiliki izin ini.
8.        Pengesahan site plan Hasil perencanaan lahan (site plan) berfungsi untuk mengetahui pengaturan ruang yang akan digunakan saat perumahan dibangun. Izin ini diterbitkan oleh dinas pemerintah daerah setempat di bawah Kementerian PU-Pera.














4.                       ALTERNATIF PENYELESAIAN JASA KONSTRUKSI
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa junco Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta peraturan lain,mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi dilakukan melalui jalur di luar pengadilan. Dalam tabel 3 adalah perbandingan penyelesaian sengketa menurut peraturan-peraturan tersebut di atas.
Dari uraian dalam tabel 3, jelaslah bahwa pada dasarnya penyelesaian sengketa jasa konstruksi yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat, diarahkan pada penyelesaian di luar pengadlan dan bermuara pada penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase.
Dalam hal kasus sengketa yang bersifat kontraktual atau sengketa dimasa pelaksanaan pekerjaan sedang belangsung, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat melalui jalur-jalur sebagaimana dalam tabel 3, yaitu:

4.1                    Jalur Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yaitu konsultan. Pihak konsultan ini memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut. Dalam jasa konstruksi, konsultan berperan penting dalam penyelesaian masalah-masalah teknis lapangan, apalagi apabila konsultan tersebut merupakan konsultan perencana dan atau konsultan pengawas proyek. Pendapat mereka sangat dominan untuk menentukan kelancaran proyek.

4.2                   Jalur Negosiasi
Pada dasarnya negosiasi adalah upaya untuk mencari perdamaian di antara para pihak yang bersengketa sesuai Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjunya dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perdamaian, terlihat bahwa kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak yang bersengketa, harus dituangkan secara tertulis dan mengikat semua pihak. Perbedaan yang ada dari kedua aturan tersebut adalah bahwa kesepakatan tertulis tersebut ada yang cukup ditandatangani para pihak dengan tambahan saksi yang disepakati kedua belah pihak. Sedangkan yang satu lagi, kesepakatan yang telah diambil harus didaftarkan ke Pangadilan Negeri. Negosisi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan sebelum proses sidang pengadilan atau sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan (Pasal 130 HIR). Dari literatur hukum dapat diketahui, selain sebagai lembaga penyelesaian sengketa, juga bersifat informal meskipun adakalanya juga bersifat formal.


Tabel 3. Perbandingan Penyelesaian Sengketa
UU No 18 / 1999 Tentang Jasa Konstruksi
UU No. 30 / 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatid Penyelesaian Sengketa
SKB MenteriKeuangan RI dan Kepala BAPPENAS No.S-42/A/2000
No.S 2262/D.2/05/2000
Tentang Juknis Keppres RI No.18/2000
PP No. 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Semua keputusan tetap melalui keputusan para pihak (bersifat final,  mutlak)
Semua keputusan tetap melalui kesepakatan (bersifat final,  mutlak)
Semua keputusan tetap melalui kesepakatan (bersifat final,  mutlak)
Semua keputusan tetap melalui kesepakatan (bersifat final,  mutlak)
Melalui pengadilan (Pidana/ perdata)
-
Melalui pengadilan (Pidana/ perdata)
-
Luar pengadilan dapat dibantu pihak ketiga
Luar pengadilan:
- Negosiasi
- Mediasi
- Konsultasi
- Konsiliasi
- Penilaian Ahli
Luar pengadilan:
-Konsultasi
-Konsiliasi
-Badan arbitrase
Luar pengadilan:
- Konsultasi
- Negosiasi
- Mediasi
- Konsiliasi
- Penilaian Ahli
Sumber: Bambang Poerdyatmono (2003)
4.3                   Jalur Mediasi
Dari beberapa pengertian yang ada, maka pengertian mediasi adalah pihak ketiga (baik perorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat netral, yang bertugas memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para pihak yang bersengketa. Sebagai pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa, tetapi bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok perkara. Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung. Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang bersengketa. Mediasi juga merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa.

4.4                   Jalur Konsiliasi
Konsiliasi menurut sumber lain, dapat disebut sebagai perdamaian atau langkah awal perdamaian sebelum sidang pengadilan (ligitasi) dilaksanakan, dan ketentuan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, juga merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan mengecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah memperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

4.5                    Jalur Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Arbitrase adalah bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan atau sengketa yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian pokok, akan tetapi juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan para pihak dalam perjanjian. Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat mengikat, dan setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi ). Sifat dari pendapat hukum lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau bentuk “putusan” lembaga arbitrase.
Kesepakatan penyelesaian sengketa melalui jalur pendapat hukum lembaga arbitrase ini agaknya yang mendasari Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Timur pada tanggal 27 November 2004 yang lalu. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa jasa konstruksi bidang arsitektural mulai dijajaki ke arah itu. Menurut pengalaman penulis, pada dasarnya penyelesaian sengkera jasa konstruksi banyak mengadopsi beberapa jalur tersebut di atas. Dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi pada saat berlangsungnya pelaksanaan proyek dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
4.5.1             Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai penyerahan pekerjaan I)
1)             Penyelesaian sengketa dengan Site Meeting (Rapat-rapat Lapangan) yang dilaksanalan 2 (dua) minggu sekali. Rapat ini dihadiri oleh pengguna jasa, penyedia jasa, dan wakil pemerintah bidang konstruksi (untuk proyek pemerintah - instansi teknis). Kesepakatan yang dihasilkan dalam site meeting ini dibuatkan Berita Acara Rapat Lapangan yang ditandatangani pihak-pihak yang terlibat/hadir, mengikat semua pihak, serta masuk dalam dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Dengan rapat-rapat lapangan yang bersifat rutin ini diharapkan segala permasalahan yang ada dan yang terjadi dapat diantisipasi.
2)             Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Voluntier).Cara ini dilakukan manakala penyelesaian sengketa di tingkat pertama (butir a) belum menghasilkan kesepakatan diantara para pihak. Arbitrase Volunter ini dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa atau memutus sengketa tertentu (baca: sengketa konstruksi). Karena itu arbitrase volunter ini bersifat insidentil dan jangka waktunya tertentu pula sampai sengketa tersebut diputuskankan. Dalam praktik konstruksi, arbitrase volunter ini dapat disebut sebagai Panitia Pendamai yang berfungsi sebagai juri/wasit yang dibentuk dan diangkat oleh para pihak, yang anggota-anggotanya terdiri dari:
a.         Seorang wakil dari pihak kesatu (pengguna jasa) sebagai anggota.
b.        Seorang wakil dari pihak kedua (penyedia jasa) sebagai anggota.
c.         Seorang wakil dari pihak ketiga sebagai ketua yang ahli dibidang konstruksi, dan disetujui kedua belah pihak.
Hasil keputusan Panitia Pendamai ini bersifat mengikat dan mutlak untuk kedua belah pihak yang bersengketa.
3)             Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Institusional, yaitu suatu lembaga permanen (permanent arbitral body) sebagaimana ayat (2) Konvensi New York 1958. Arbitrase Institusional ini didirikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor sengaja dan sifat permanen itulah yang membedakan dengan arbitrase ad hoc. Arbitrase Institusional ini berdiri sebelum sengketa timbul. Di samping itu arbitrase ini berdiri untuk selamanya walaupun suatu sengketa telah diputus dan diselesaikan.
Menurut pengalaman, lembaga ini jarang dimanfaatkan oleh para pihak yang bersengketa, disebabkan karena minimal 2 (dua) hal:
a.       sengketa biasanya telah dituntaskan pada tahap pertama (butir a – site meeting)
b.      para pihak seolah enggan meneruskan sengketa ke tingkat yang lebih tinggi (butir b – arbitrase volunter dan arbitrase institusional apalagi melalui jalur pengadilan).

4)             Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan.
Upaya pengadilan yang dimaksud adalah upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan, manakala upaya yang ada belum juga menghasilkan kesepakatan. Perlu diingat bahwa upaya pengadilan ini meupakan upaya akhir (baca : pengadilan negeri tempat domisili para pihak berselisih, termasuk lokasi proyek yang bersangkutan – yang biasanya sudah dicantumkan dalam kontrak kerja). Padahal menurut beberapa ahli hukum, selama ini sudah ada institusi hukum lain yang mengangani upaya penyelesaian sengketa, yaitu arbitrase institusional, sehingga para pihak harus memilih salah satu institusi hukum tersebut, pengadilankah atau arbitrase institusional, karena keduanya sama-sama kuat kedudukannya di depan hukum. Menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 6 ayat (7), Pengadilan Negeri menerima pendaftaran hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa (tertulis) untuk dilaksanakan dengan itikat baik dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan tersebut. Bisa diartikan bahwa kesepakatan yang telah ditandatangani para pihak yang bersengketa tersebut (baik melalui atau tanpa melalui arbitrase institusional), cukup didaftarkan ke Pengadilan Negeri dimana domisili para pihak yang bersengketa dan atau lokasi proyek berada.
Dalam tahap ini jelas bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 39 ayat (1) menegaskan bahwa penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Hal ini diperkuat lagi pada Pasal 41 undang-undang ini yang menyebutkan bahwa penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran undang-undang ini.

4.5.2             Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai dan setelah penyerahan ke II)
Pada tahap ini dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Tahap pekerjaan konstruksi sampai dengan penyerahan ke II pekerjaan pelaksanaan, dan (2) Tahap operasional yaitu tahap bangunan dimanfaatkan hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.Tahap yang pertama, kontrak kerja pelaksanaan masih berlaku hingga tahap penyerahan kedua kalinya, yang sering disebut masa pemeliharaan. Pada masa pemeliharaan ini segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan pelaksanaan yang masih belum sempurna (rusak, cacat, kekurang sempurnaan pekerjaan yang ringan) dapat diselesaikan pada masa sebelum penyerahan kedua kalinya. Waktu pelaksanaan tahap pemeliharaan ini biasanya singkat sekitar 2 (dua) minggu saja.
Tahap kedua, adalah masa “pertanggungan atau jamin an” bangunan hingga 10 (sepuluh) tahun kedepan atau masa bangunan dioperasikan/dimanfaatkan. Pada masa ini segala sesuatu yang berkaitan dengan kerusakan akibat kesalahan/kekurangan pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi (masa kontraktual) dilaksanakan. Masa ini kontraktor masih “ikut” bertanggung jawab, termasuk konsultan pengawas dan konsultan perencana.

4.6                   Tanggung Jawab Pelaku Jasa Konstruksi secara Perdata dan Pidana
4.6.1             Tanggung Jawab secara Perdata
Tanggung jawab secara perdata pelaku jasa konstruksi dapat dilihat dari perikatan yang terjadi antara Pengguna Jasa (pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Konsultan atau Kontraktor). Perikatan yang berbentuk kontrak kerja konstruksi tersebut terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1233, yaitu bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, dan atau karena undang-undang. Mariam Darus Badrulzaman, (2001), menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut. Semua hak dan kewajiban pelaksanaan jasa konstruksi tersebut telah tercantum dalam kontrak kerja konstruksi.

4.6.2             Tanggung Jawab secara Pidana
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 membuka peluang sanksi pidana bagi pelaku jasa konstruksi, khususnya Pasal 41 dan Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat yang menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa. Pada pinsipnya barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (pada saat berlangsungnya pekerjaan konstruksi) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan beroperasi), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak.
Selain sanksi pidana, para profesional (tenaga ahli) teknik juga akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2000 Pasal 31, 32, dan 33 juncto PP Nomor 30 Tahun 2000 Pasal 6 ayat (4).
Sanksi pidana dirasakan perlu mengingat bahwa sanksi lain seperti sanksi administrasi bagi pelanggaran norma-norma hukum Tata Negara dan Tata Usaha Negara, dan sanksi perdata bagi pelanggaran norma-norma hukum perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan hukum, yaitu rasa keadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1989), sanksi pidana ini dapat dianggap sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).





















REFERENSI


https://id.wikipedia.org/wiki/Perseroan_terbatas
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/uaj/article/view/17524
http://business-law.binus.ac.id/2017/02/28/penyelesaian-sengketa-konstruksi-pasca-revisi-uu-jasa-konstruksi/
https://www.researchgate.net/publication/39738154_JENIS_SENGKETA_YANG_SERING_TERJADI_PADA_PROYEK_KONSTRUKSI
https://www.academia.edu/4893311/Penguasaan_Tanah_untuk_mendukung_Pembangunan_Berkelanjutan

Komentar

Postingan Populer