PERSENGKETAAN BATAS PERAIRAN INDONESIA-MALAYSIA DI SELAT MALAKA
PERSENGKETAAN BATAS PERAIRAN INDONESIA-MALAYSIA DI
SELAT MALAKA
A.
Perbatasan
Indonesia-Malaysia
Perbatasan antara Indonesia
dan Malaysia
di Asia
Tenggara mencakup perbatasan darat yang memisahkan kedua negara di Pulau
Kalimantan dan perbatasan maritim di sepanjang Selat
Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut
Sulawesi.
Perbatasan
darat antara Indonesia-Malaysia membentang sepanjang 2.019 km dari Tanjung Batu
di Kalimantan baratlaut, melewati dataran tinggi pedalaman Kalimantan, hingga
ke Teluk Sebatik
dan Laut Sulawesi di sebelah timur Kalimantan. Perbatasan ini memisahkan
provinsi Kalimantan Utara dan Kalimantan
Barat di Indonesia dengan negara bagian Sabah dan Sarawak
di Malaysia.
Perbatasan maritim di Selat Malaka
umumnya ditetapkan berdasarkan garis tengah antara dasar benua Indonesia dan
Malaysia, membentang ke arah selatan dari perbatasan Malaysia–Thailand
hingga ke titik pertemuan perbatasan
Malaysia–Singapura. Sebagian perbatasan ini ditetapkan melalui
Perjanjian Perbatasan Landas Benua pada tahun 1969 dan Perjanjian Perbatasan
Wilayah Laut pada 1970. Perbatasan landas
benua antara Indonesia dan Malaysia di Laut Cina Selatan juga
ditarik di sepanjang garis dasar benua antara kedua negara berdasarkan
perjanjian 1969.
Perbatasan di Laut
Sulawesi telah menjadi subjek persengketaan antar kedua negara.
Persengketaan tersebut diselesaikan melalui putusan Mahkamah Internasional
dalam kasus Sipadan
dan Ligitan
pada tahun 2002. Meskipun demikian, kedua negara ini masih memiliki klaim yang
saling tumpang tindih sehubungan dengan perbatasan, misalnya Ambalat.
Terdapat sejumlah transportasi laut
yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, sebagian besarnya antara Sumatra
dan Semenanjung Malaysia, dan
sebagian kecil antara Kalimantan Utara dan Sabah.
Satu-satunya perlintasan darat yang menghubungkan kedua negara ini terdapat di
Entikong (Indonesia)/Tebedu (Malaysia). Perbatasan Indonesia–Malaysia, baik
darat atau laut, memiliki celah yang menyebabkan masuknya sejumlah besar
pekerja imigran ilegal dari Indonesia ke Malaysia.
a Perbatasan Darat
Konvensi London 1891 yang
ditandatangani oleh Belanda dan Britania Raya menyatakan bahwa ujung timur
perbatasan berada pada 4° 10' LU, yang terus ke arah barat melintasi Pulau Sebatik di lepas
pantai Sabah, membagi
pulau tersebut menjadi dua; bagian utara dikuasai oleh Borneo Utara Britania,
sedangkan bagian selatan dikuasai oleh Hindia
Belanda. Perbatasan kemudian melintasi selat antara Sebatik dan daratan,
yang membentang di sepanjang garis tengah Tambu dan Sikapal hingga ke
bukit-bukit yang membentuk daerah aliran sungai Simengaris (di Indonesia) dan
Serudung (di Malaysia). Perbatasan ini pada umumnya membentang ke arah baratlaut
menuju 4° 20'LU, kemudian mengikuti garis pegunungan di sepanjang daerah aliran
sungai yang mengalir menuju Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata,
dan berakhir di Tanjung Datu pada koordinat 109° 38'.8 BT 02° 05'.0 LU di ujung
barat Sarawak.
b Perbatasan Maritim
Perbatasan maritim
antara Indonesia dan Malaysia terletak di empat wilayah perairan, yakni Selat
Malaka, Selat Singapura, Laut
Cina Selatan, dan Laut Sulawesi. Wilayah laut kedua negara ini
(keduanya sama-sama mengklaim 12-nautical-mile (22 km)) hanya bertemu di
Selat Malaka dan Laut Singapura. Perbatasan maritim ini juga terdapat di ujung
perbatasan darat antara kedua negara di Kalimantan. Mengenai perbatasan landas
benua, hanya perbatasan di Laut Cina Selatan yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak, sedangkan perbatasan landas benua di Laut Sulawesi belum
ditetapkan sama sekali.
B.
Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka
Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan
bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar
seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah
lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis
dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara
mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil
laut.
Di Selat Malaka, Indonesia dan
Malaysia sudah menetapkan garis batas landas kontingen pada tahun 1969.
Garis landas kontingen tersebut terbentang lurus di Selat Malaka. Artinya,
sudah ada kejelasan pembagian dasar laut dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (minyak, gas, dll) di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia,
tetapi belum ada pembagian yang jelas untuk tubuh air dan kekayaan alam terkait
terutama ikan, sebagaimana kita ketahui, landas kontinen hanya membagi dasar
laut saja.
Jika melihat dari prinsip penguasaan
dan berbagai laut antar negara, Negara Pantai (coastal state) seperti Indonesia
berhak menguasai kawasan laut (zona maritime) yang diatur dalam Konvensi PBB
tentang hukum laut atau di Indonesia dikenal dengan UNCLOS yang disahkan pada
tahun 1982. Menurut UNCLOS, sebuah negara pantai berhak atas laut teritorial
(12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE
(200 mil laut).
C.
Perbatasan Laut dan ZEE Indonesia-Malaysia di Selat Malaka
Batas maritim antara Indonesia dengan
Malaysia di Selat Malaka telah ditetapkan oleh kedua negara dengan melakukan
perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober
1969. Perjanjian ini masih berdasarkan ketentuan-ketentuan hasil konferensi
Hukum Laut PBB I tahun 1958, dimana hasil konfrensi ini masih belum memuat
ketentuan tentang batas zona ekonomi. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No.
2 Tahun 1971 Tentang Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Malaysia Tentang
Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka,
dijelaskan isi pokok perjanjian perbatasan tersebut bahwa “garis batas laut wilayah Indonesia dan laut
wilayah Malaysia di Selat Malaka yang sempit, yaitu di selat yang lebar antara
garis dasar kedua belah pihak kurang dari 24 mil laut, adalah garis tengah,
yaitu garis yang menghubungkan titik-titik yang sama jaraknya dari garis-garis
dasar kedua belah pihak.” Isi perjanjian ini adalah sesuai dengan
ketentuan pasal 1 ayat (2) dari Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960, yang
menyatakan bahwa “jika ada Selat yang
lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan
satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada
tengah selat.” Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa Perjanjian
Penetapan Garis Batas Laut Wilayah tersebut telah memperkuat Undang-undang No.
4 Prp. Tahun 1960, sekurang-kurangnya untuk bagian Selat Malaka yang diatur di
dalam perjanjian tersebut. Namun, garis batas laut wilayah tersebut tidak
sesuai dengan garis batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka
yang telah berlaku sejak bulan November 1969. Garis landas kontinen Indonesia
dengan Malaysia di Selat Malaka justru lebih mengarah ke pantai Indonesia. Ini
sangat merugikan Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, disepakati titik
koordinat Batas-batas landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka
sebagai berikut:
A. In
the Straits of Malacca:
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
Point
|
Longitude
E
|
Latitude
N
|
1.
|
98°
17'.5
|
05° 27'.0
|
2.
|
98°
41'.5
|
04°
55'.7
|
3.
|
99°
43'.6
|
03°
59'.6
|
4.
|
99°
55'.0
|
03°
47'.4
|
5.
|
101°
12'.1
|
02°
41'.5
|
6.
|
101°
46'.5
|
02°
15'.4
|
7.
|
102°
13'.4
|
01°
55'.2
|
8.
|
102°
35'.0
|
01°
41'.2
|
9.
|
103°
03'.9
|
01°
19'.5
|
10.
|
103°
22'.8
|
01°
15'.0
|
D. Penyelesaian
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.
Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Namun belum ditetapkannya batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) menyebabkan seringnya tangkap-menangkap nelayan di wilayah perbatasan. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang31dua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar