Tradisi Tionghoa
TRADISI
TIONGHOA
Tionghoa
atau Orang Tionghoa adalah sebutan di Indonesia untuk
orang-orang dari suku atau bangsa Tiongkok. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai
untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi
negatif. Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal
di luar Republik Rakyat Tiongkok, seperti di Indonesia (Tionghoa-Indonesia), Malaysia (Tionghoa-Malaysia), Singapura, Hong Kong, Taiwan, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Dengan
demikian, dalam bahasa Indonesia, istilah orang Tionghoa dan orang Tiongkok
memiliki perbedaan makna; yang pertama merujuk pada etnis atau suku bangsa,
yang kedua merujuk pada kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok. Orang-orang Tiongkok yang pergi
merantau umumnya disebut sebagai orang Tionghoa
perantauan (Hoakiao).
Orang
Tiongoa banyak membawa kebiasaan atau kebuayaan yang diwarisi secara turun
temurun di Indonesia. Berikut beberapa tradisi atau kebudayaan orang Tionghua
yang hingga sekarang masih dirayakan.
1.
Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek)
Tahun Baru Imlek biasanya
dirayakan oleh masyarakat Tionghoa hingga kini dengan sangat meriah, dengan
menggantung berbagai macam pernak-perniknya, seperti lampion merah, menempel kertas merah
bertuliskan ‘FU’, menyiapkan angpao, sampai pesta
kembang api dan tarian naga serta barongsai. Awalnya Imlek
merupakan hari raya yang berkaitan dengan pergantian musim, yakni dari musim
dingin ke musim semi. Karena musim semi dihitung sebagai musim pertama dari 4
musim yang ada, maka berdasarkan penanggalan Imlek, hari pertama mulainya musim
semi merupakan hari pertama penanggalan tahunan.
2.
Festival Yuan Xiao (Cap Go Meh)
Festival Yuan Xiao atau biasa dikenal
dengan perayaan Cap Go Meh jatuh setiap tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek. Sama hal nya dengan
perayaan Imlek diatas, perayaan Cap Go Meh ini juga dirayakan dengan sangat
meriah di beberapa negara yang tersebar di berbagai belahan dunia. Umumnya yang
ada dalam Festival Cap Go Meh ini adalah disajikan pertunjukan tarian
barongsai, naga (liong), atraksi beladiri wushu, pergelaran alat musik tradisional
China,
pertunjukan tarian khas negeri
Tiongkok, dan
sebagainya.
Bahkan
di Indonesia, festival Cap Go Meh ini dilakukan upacara kirab atau turun ke
jalan raya dengan menggotong Kio/usungan yang diisi/dimuat arca para Dewa.
Bahkan, di beberapa kota di tanah air, seperti di daerah Jakarta dan di Manado,
ada atraksi ‘lok thung’ atau ‘thang sin’, dimana ada seseorang yang menjadi
medium perantara, dimana biasanya akan melakukan beberapa atraksi sayat lidah,
memotong lengan/badannya dengan sabetan pedang dsb, dan dipercaya telah
dirasuki roh Dewa/i untuk memberikan berkat bagi umatNya
3.
Festival Qing Ming (Ceng Beng)
Festival Qing Ming adalah hari
di mana masyarakat Tionghoa melakukan ziarah ke kuburan leluhurnya (orang tua,
sanak family) sekalian membersihkannya dan bersembahyang di makam sambil
membawa buah-buahan, kue, makanan, serta karangan bunga. Hari Ceng Beng biasanya jatuh pada
tanggal 5 April kalender Masehi. Kegiatan ini bertujuan sebagai bentuk
penghormatan (mengenang) kepada leluhur atau keluarga yang telah meninggal.
4.
Festival Duan Wu
Festival Duan Wu
sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Hingga saat ini, ada 2 kegiatan yang
terus dilakukan masyarakat Tionghoa, yakni makan Bak Chang dan perlombaan perahu naga. Salah satu asal
usul dari festival Duan Wu ini adalah untuk mengenang patriot Qu Yuan yang mati
bunuh diri dengan terjun ke sungai karena kecintaan dan kesetiaannya pada
negara/dinasti Chu. Festival ini dilangsungkan setiap tanggal 5 bulan 5
penanggalan Imlek.
5.
Festival Qi Xi
Festival Qi Xi atau biasa disebut
dengan merupakan festival Qi Qiao yang romantis dalam tradisi dan kebudayaan
Tionghoa. Bahkan festival ini dikatakan sebagai hari valentine nya orang
Tionghoa. Festival Qi Xi ini memperingati
kisah romantis antara pria penggembala Niu Lang dan Zhi Nu si gadis penenun
yang menurut cerita hanya dapat bertemu sekali dalam setahun. Festival ini
jatuh setiap tanggal 7 bulan 7 penanggalan Imlek. Pada Malam Festival Qi Xi,
gadis-gadis muda melakukan permohonan dan doa agar dapat meningkatkan
keterampilan seni mereka dan juga memohon supaya mendapatkan suami yang setia
dan baik serta mencintainya.
6. Festival Musim Gugur (Tiong Ciu)
Festival
musim gugur atau biasa disebut dengan Tiong Ciu Pia (makan kue pia), merupakan
hari raya panen. Festival ini dirayakan setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan
Imlek. Festival musim gugur dimulai sekitar zaman dinasti Xia dan Sheng
(2000-1600 SM). Pada dinasti Zhou, rakyat merayakan dengan memuja bulan. Pada
dinasti Tang, tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada dinasti Song selatan
(1127-1279 M), orang mulai mengirimkan kue bulan yang bergambar kelinci kepada
rekan dan family sebagai simbol keutuhan keluarga.
Pada
malam hari mereka berjalan-jalan bersama keluar rumah dan mengunjungi tepi
danau menikmati rembulan. Pada dinasti Ming dan Qing, tradisi ini menjadi lebih
populer. Muncul beberapa kebiasaan seperti menanam pohon musim gugur,
menyalakan lentera dan tari naga. Tradisi yang paling utama yang sampai
sekarang masih ada adalah berkumpul bersama keluarga untuk menikmati bulan
sambil menikmati penganan khas kue bulan sambil meminum arak (minuman keras
khas negeri Tiongkok) atau teh.
7.
Festival Chong Yang
Festival Chong Yang jatuh setiap
tanggal 9 bulan 9 penanggalan Imlek. Festival Chong Yang yang memiliki arti
Panjang umur ini juga dirayakan sebagai Hari Lansia (Lanjut Usia) oleh Warga
Tionghoa. ‘Chong Yang’ artinya nomor ‘Yang’ yang double, menurut kitab I Ching,
angka sembilan memiliki sifat ‘Yang’. Sembilan juga merupakan angka tertinggi
dari angka-angka yang lainnya, dan mempunyai bunyi yang sama dengan ‘Jiu-Jiu’
yang artinya ‘lama-lama’, jadi sering diartikan sebagai panjang umur. Festival Chong Yang yang paling ramai
diselenggarakan di Hong Kong dan daratan China. Pada festival Chong Yang, orang
sering berkumpul untuk berpesta bersama, menikmati bunga krisan, mendaki
gunung dan makan kue spesial. Festival ini juga dikenal dengan istilah ‘double
nine Festival’. Di Indonesia sendiri, Festival ini belum ada.
8. Festival Musim Dingin (Dong Zhi)
Festival
Musim Dingin jatuh setiap tanggal 22 Desember kalender masehi. Pada festival
ini biasanya orang akan membuat kue onde dan memakannya bersama keluarga. Asal
usul festival ini dapat ditelusuri kembali ke filsafat Tao ‘Yin dan Yang’
sebagai keseimbangan dan harmoni dalam alam semesta. Festival ini mulai
dirayakan pada zaman dinasti Han (206-220 SM). Pada zaman sekarang ini festival
musim dingin dirayakan dengan sangat meriah seperti di Harbin. Bahkan kota yang
terletak di paling utara China ini menjadi salah satu dari tempat-tempat yang
menyelenggarakan festival es dan salju di dunia.
Secara
turun-temurun, festival ini menjadi saat berkumpul bagi seluruh anggota
keluarga dengan satu kegiatan utama yang dilakukan (terutama bagi
keluarga-keluarga di Tiongkok selatan dan perantauan), yaitu membuat dan
menikmati TangYuan, orang Indonesia menyebutnya wedang ronde) yaitu hidangan
berbentuk bola-bola dari beras ketan yang melambangkan persatuan. TangYuan
dibuat dengan warna-warna yang cerah, masing-masing anggota keluarga mendapat
setidaknya satu bola TangYuan berukuran besar disamping beberapa lainnya yang
berukuran kecil.
9. Sembahyang
Rebutan atau Festival Hantu
Disebut festival hantu karena masyarakat Tionghoa
menganggap pada tanggal 2-15 bulan 7 semua hantu keluar dari kuburnya dan akan
masuk kembali pada tanggal 16. Pada tanggal itu semua warga yang percaya harus
pergi ke kuburan untuk bersembahyang dan “berpesta” di kuburan (membawakan
banyak makanan untuk di makan bersama). Pada tanggal 15 bulan 7, masyrakat juga
tidak boleh menyebut nama orang lain ataupun orang disekitarnya. Karena jika
warga menyebutkan nama orang yang sama dengan nama orang yang sudah meninggal,
maka orang yang meninggal tersebut dipercaya akan makan bersama orang yang
menyebut namanya.
Setiap pertengahan Bulan ketujuh (Tanggal 15), di
Vihara/Kelenteng seringkali mengadakan upacara sembahyang “jit
gwee” atau biasa disebut juga sembahyang Cio Ko
atau Ulambana (versi Buddhisme). Dalam upacara ini ada
keunikan yaitu sehabis upacara Sembahyang selesai maka semua makanan yang ada
diatas meja sembahyang lalu diperebutkan oleh semua yang hadir, oleh karena itu
upacara ini di beberapa daerah juga sering menyebutnya dengan nama “Sembahyang
Rebutan“.
Komentar
Posting Komentar